PT
Freeport Indonesia,
adalah potret nyata sektor pertambangan Indonesia. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan
tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi lingkungan dan masyarakat di
sekitar lokasi pertambangan terus memburuk dan menuai protes akibat berbagai
pelanggaran hukum dan HAM (salah satu berita dapat diakses dari situs news.bbc.co.uk), dampak lingkungan serta
pemiskinan rakyat sekitar tambang.
WALHI
sempat berupaya membuat laporan untuk mendapatkan gambaran terkini mengenai
dampak operasi dan kerusakan lingkungan di sekitar lokasi pertambangan PT
Freeport Indonesia.Hingga saat ini sulit sekali bagi masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang jelas dan menyeluruh mengenai dampak kegiatan
pertambangan skala besar di Indonesia.Ketidak jelasan informasi tersebut
akhirnya berbuah kepada konflik, yang sering berujung pada kekerasan,
pelanggaran HAM dan korbannya kebanyakan adalah masyarakat sekitar
tambang.Negara gagal memberikan perlindungan dan menjamin hak atas lingkungan
yang baik bagi masyarakat, namun dilain pihak memberikan dukungan penuh kepada
PT Freeport Indonesia, yang dibuktikan dengan pengerahan personil militer dan
pembiaran kerusakan lingkungan.
Dampak
lingkungan operasi pertambangan skala besar secara kasat mata pun sering
membuat awam tercengang dan bertanya-tanya, apakah hukum berlaku bagi pencemar
yang diklaim menyumbang pendapatan Negara? Matinya Sungai Aijkwa, Aghawagon dan
Otomona, tumpukan batuan limbah tambang dan tailing yang jika ditotal mencapai
840.000 ton dan matinya ekosistem di sekitar lokasi pertambangan merupakan
fakta kerusakan dan kematian lingkungan yang nilainya tidak akan dapat
tergantikan. Kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar lokasi PT Freeport
Indonesia juga mencerminkan kondisi pembiaran pelanggaran hukum atas nama
kepentingan ekonomi dan desakan politis yang menggambarkan digdayanya kuasa
korporasi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI – Indonesian Forum for
Environment) adalah forum organisasi lingkungan hidup non-pemerintah terbesar
di Indonesia dengan perwakilan di 26 propinsi dan lebih dari 430 organisasi
anggota.WALHI bekerja membangun transformasi sosial, kedaulatan rakyat, dan
keberlanjutan kehidupan.
Laporan
WALHI Tentang Dampak pencemaran Lingkungan Hidup Operasi Freeport-Rio Tinto di
Papua
Laporan
yang berjudul Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas
Freeport-Rio Tinto di Papua adalah laporan yang menyajikan gambaran tentang
keberadaan Freeport yang independen mengenai dampak lingkungan akibat tambang
Freeport, sebuah usaha bersama Freeport McMoRan dan Rio Tinto, yang meski
merupakan salah satu tambang terbesar di dunia, beroperasi di bawah selimut
rahasia di daerah terpencil Papua.
Laporan
ini memaparkan kerusakan lingkungan berat dan pelanggaran hukum, berdasar
sejumlah laporan pemantauan oleh pemerintah dan perusahaan yang tidak
diterbitkan, termasuk Pengukuran Risiko Lingkungan (Environmental Risk
Assessment, ERA) yang dipesan Freeport-Rio Tinto dan disajikan pada pemerintah
Indonesia meski tak dipublikasikan untuk umum. Dalam laporan, masalah-masalah
berikut ini dibahas, dan ditutup dengan saran untuk aksi.
Pelanggaran
hukum:
Temuan kunci pada laporan ini adalah Freeport-Rio Tinto telah gagal
mematuhi permintaan pemerintah untuk memperbaiki praktik pengelolaan limbah
berbahaya terlepas rentang tahun yang panjang di mana sejumlah temuan
menunjukkan perusahaan telah melanggar peraturan lingkungan. Kementerian
Lingkungan Hidup tak kunjung menegakkan hukum karena Freeport-Rio Tinto
memiliki pengaruh politik dan keuangan yang kuat pada pemerintah. Begitu
kuatnya sampai-sampai proposal Freeport-Rio Tinto untuk mengelak dari standard
baku mutu air sepertinya sedang dipertimbangkan.http://wiloda.blogspot.com/2013/02/pelanggaran-etika-yang-dilakukan-pt_6.html
PT. Mitra Insan Utama adalah salah satu perusahaan dari sekian banyak yang menjalankan bisnis (praktek) Outsourcing untuk membantu pekerjaan PLN, akan tetapi pada kenyataannya banyak pekerjaan-pekerjaan inti perusahaan PLN yang juga ditangani oleh karyawan Outsourcing. Hingga detik ini, PT. Mitra Insan Utama menjadi Leader perusahaan penyedia Jasa Outsourcing untuk PT. PLN (Persero) dengan kompetensi-kompetensi yang sangat baik sekali, diakui atau tidak, memang realitanya seperti, pegawai Outsourcing cenderung memiliki nilai negatif di lingkungan internal perusahaan pengguna jasa Outsourcing atau kasarnya menjadi “welcome” bagi perusahaan PLN. Penguasaan kerja fungsional hingga detik ini pun ternyata masih dipegang oleh karyawan-karyawan OS PT. MIU yang terkenal handal dan pekerja keras, meskipun banyak keluhan mengenai permasalahan kesejahteraan tetapi tidak menutup diri untuk tidak melaksanakan kerja sesuai dengan prosedur yang berlaku dilingkungan PT. PLN (Persero). Hal ini masih menjadi pertanyaan-pertanyaan yang cukup misterius, tak banyak pelanggan-pelanggan PLN yang mengetahui bahwa ketika mereka datang dan duduk untuk sekedar mencari informasi, yang mereka temui bukanlah pegawai PLN, akan tetapi pegawai Outsourcing, eksistensi pegawai OS di lingkungan PT. PLN (Persero) selalu dicaci tetapi dibutuhkan oleh PT. PLN (Persero).
sumber : http://martha1392.wordpress.com/2013/10/15/perusahaan-yang-melanggar-etika-dalam-berbisnis/
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bagus
Irawan, menyatakan berdasarkan putusan Nomor 77 mengenai pailit, PT Metro Batavia (Batavia Air) dinyatakan pailit. “Yang menarik dari
persidangan ini, Batavia mengaku tidak bisa membayar utang,” ujarnya, seusai
sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 30 Januari 2013.
Ia menjelaskan, Batavia Air mengatakan tidak
bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus
dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun,
Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang
dilakukan pemerintah.
Gugatan yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68
juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak
melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun karena maskapai itu tetap tidak bisa membayar
utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat
dioperasikan untuk menutup utang.
Dari bukti-bukti yang diajukan ILFC sebagai
pemohon, ditemukan bukti adanya utang oleh Batavia Air. Sehingga sesuai aturan
normatif, pengadilan menjatuhkan putusan pailit. Ada beberapa pertimbangan
pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan itu adalah adanya bukti utang, tidak
adanya pembayaran utang, serta adanya kreditur lain. Dari semua unsur tersebut,
maka ketentuan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan terpenuhi.
Jika menggunakan dalil “force majeur” untuk
tidak membayar utang, Batavia Air harus bisa menyebutkan adanya syarat-syarat
kondisi itu dalam perjanjian. Namun Batavia Air tidak dapat membuktikannya.
Batavia Air pun diberi kesempatan untuk kasasi selama 8 hari. “Kalau tidak
mengajukan, maka pailit tetap.”
Batavia Air pasrah dengan kondisi ini.
Artinya, kata dia, Batavia Air sudah menghitung secara finansial jumlah modal
dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi
Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian
Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air untuk memberikan informasi
pada seluruh calon penumpang yang sudah membeli tiket. Agar informasi ini
menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga di bandara seluruh
Indonesia, Kamis (31/1).
“Kepada Batavia Air kami minta besok mereka
untuk standby di lapangan Bandara di seluruh Indonesia? Untuk memberi
penjelasan dan menangani penumpang-penumpang itu. Jadi kami minta mereka untuk
stay di sana,” ujar Herry saat mengelar jumpa pers di kantornya, Jakarta, Rabu
malam (30/1).
Herry mengatakan pemberitahuan ini sudah
disampaikan kepada Batavia Air. “Kami sudah kirim informasi ini ke bandara-bandara
yang ada untuk melakukan antisipasi besok di bandara (31/1),” imbuh Herry.
http://ikromfajarilahi.blogspot.com/2013/11/contoh-kasus-pelanggaran-etika-bisnis.html
Sebuah RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada
seluruh karyawan yang akan mendaftar PNS secara otomotais dinyatakan
mengundurkan diri. A sebagai salah seorang karyawan di RS Swasta itu
mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus karena menurut pendapatnya
ia diangkat oleh Pengelola dalam hal ini direktur, sehingga segala
hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus.
Pihak Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai
kebijakan tersebut.
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit
http://sinuraya31.blogspot.com/2013/10/pelanggaran-etika-bisnis-yang-terjadi.html
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit
http://sinuraya31.blogspot.com/2013/10/pelanggaran-etika-bisnis-yang-terjadi.html
kesimpulan : masih banyaknya pelanggaran pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ternama sehingga terlihat perusahaan besar ini harus menjadi sorotan utama agar tidak merugikan negara ini. Maka
dari itu kita sebagai warga Negara harus lebih menjunjung tinggi etika
pada diri sendiri untuk orang lain, sehingga dalam melakukan bisnis kita
dapat mematuhi etika tersebut dalam berbisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar